Huruf Lampau Aceh Senasib dengan Turki


Oleh Tuanku Muksalmina

Aksara Aceh dahulu. Foto: acehtrend.com
Aksara Aceh dahulu. Foto: acehtrend.com

Hari Aksara Internasional (HAI) yang diperingati setiap tanggal 8 September memiliki pesan penting akan pengentasan terhadap angka buta huruf yang dialami oleh sebagian penduduk di seluruh dunia. Namun di sisi lain juga bertujuan untuk menyoroti seberapa banyak keaksaraan yang masih tersisa. Hal ini tidak terlepas dari punahnya aksara tertentu pada masa kini, maupun yang telah menyusut penggunaannya dalam masyarakat. Walau masyarakat tersebut masih eksis sampai saat ini. Semisal Aceh dan Turki.

Sebagaimana diketahui bahwa Turki sebelum menjadi republik (1923) atau tepatnya masa Ottoman, menggunakan huruf Arab gundul dalam penulisannya. Penggunaan huruf Latin baru, berlangsung semenjak nasionalisasi oleh kaum Turki Muda yang dipimpin Mustafa Kemal, yang digelari Ataturk (bapak Bangsa Turki).

Baca lebih lanjut

Aktif Menulis Semuda Anne Frank


Anne Frank. Foto: viewy.ru

KEGIATAN menulis bagi sebagian orang merupakan suatu hal yang sulit untuk dilakukan. Memulainya saja sudah butuh energi ekstra. Apalagi menulisnya. Akan tetapi, bagi orang-orang yang sudah mahir, tak perlu waktu yang lama untuk menulis apa pun hingga dapat dibaca oleh khalayak ramai.

Sebut saja Annelies Marie Frank. Yang lebih dikenal sebagai Anne Frank. Gadis remaja Jerman yang menjadi korban kekejaman rezim Nazi-nya Hitler. Buku harian yang ditulis olehnya membuka tabir kebengisan pasukan SS (Schutzstaffel) Jerman dalam memurnikan ras Arya dengan membasmi orang-orang Yahudi yang dianggap telah mengambil terlalu banyak sumber kekayaan negeri sang Fuhrer (Adolf Hitler). Karena dominasi orang Yahudi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), serta ekonomi.

Melalui buku harian yang rutin dicatat Anne Frank, dunia menjadi tahu bagaimana masa-masa suram yang dialami orang-orang yang satu etnis dengan Anne Frank berlangsung. Diskriminasi, persekusi, pencidukan hingga pembunuhan menjadi bagian yang saling terkait dan tak terpisahkan. Anne Frank pun akhirnya ikut menjadi korban tragedi ini. Yang kemudian dinamakan Holokaus.

Dalam hal ini, yang patut dicermati adalah produktifnya Anne Frank sebagai penulis, yang masih berusia belasan tahun. Di usianya yang belia, ia bahkan mampu menggambarkan situasi yang saat itu sedang terjadi dalam buku catatan hariannya. Keaktifan Anne Frank dalam menulis, menunjukkan bagaimana tingkat intelektualitasnya telah berkembang melampaui gadis-gadis lain seumurannya.

Baca lebih lanjut

Meugang, Tradisi Aceh Menyambut Momen Suci


Suasana pasar yang menjual daging sapi atau kerbau di Aceh saat Meugang. Foto: goodnewsfromindonesia.id

PERAYAAN Idulfitri 1439 Hijriah baru saja usai berlalu. Umat Muslim Indonesia kini banyak yang  mulai berbondong-bondong balik ke tempat aktivitasnya masing-masing usai mudik melepas rindu di kampung halaman. Tak terkecuali di Aceh.

Pada akhir bulan Ramadan yang lalu, tepatnya dua hari jelang hari raya Idulfitri, ada tradisi yang saban tahun tak pernah dilewatkan oleh orang Aceh. Baik yang berada di Aceh maupun di pelbagai pelosok tanah air dan juga di luar negeri. Tradisi itu dinamakan meugang. Prosesi menyantap daging bagi setiap orang Aceh bersama keluarga. Jika pun ada yang tak sempat menikmatinya bersama keluarga, maka biasanya akan dilangsungkan bersama komunitas atau paguyuban di masing-masing tempat perantauan.

Baca lebih lanjut

Refleksi Konflik Aceh: Jusuf Kalla Menggertak, Malik Mahmud Berpikir Bijak


Oleh Tuanku Muksalmina

“Saat saya ketemu Malik Mahmud, saya katakan mungkin Indonesia tidak akan kalahkan GAM, tapi Indonesia siap berperang 100 tahun. Tapi juga mungkin GAM tak bisa kalahkan Indonesia, karena kekuatan GAM hanya 5.000, sementara Indonesia satu juta. Kalau Indonesia siap berperang 100 tahun, maka yang menjadi korban orang Aceh karena tempat perang di Aceh.” (Jusuf Kalla)

Jusuf Kalla bersama tokoh elit GAM di kediamannya, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Foto: Rakyat Merdeka (24/10/2008), via teguhtimur.com

MENILIK kembali latar peristiwa yang mengiringi proses tercapainya perdamaian Aceh, memang tak bisa dilepaskan dari sosok lelaki asal Bugis yang selalu terlihat ramah dan tak pelit senyum kepada tiap orang yang ia jumpai. Jusuf Kalla. Wakil Presiden Indonesia yang mendampingi Jokowi saat ini.

Tak ada yang menyangka konflik Aceh yang telah berlangsung selama puluhan tahun mampu dirundingkan untuk diakhiri. Jusuf Kalla memang bukan sembarang orang di arena perpolitikan Indonesia.

Latar belakangnya yang seorang mantan aktivis kampus, pebisnis ulung dan politisi kawakan partai Golkar, telah memberikannya banyak pengalaman bagaimana berhadapan dengan orang-orang dari beragam suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ia tahu kapan harus mengeras dan kapan mesti melunak. Ritme “maju atau mundur” dapat diperankan dengan apik oleh seorang Jusuf Kalla.

Baca lebih lanjut

Mie Aceh Goreng


Foto: Arsip Pribadi
Foto: Arsip Pribadi